Makalah SMA/K Tentang Gerakan Pemuda / Organisasi Pemuda

BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Peranan pemuda dan organisasi kepemudaan merupakan fenomena baru pada abad XX. Pada abad-abad sebelumnya, dengan mengesampingkan pemuda di sekitar pangeran mahkota Jawa dan anak-anak ulama, peranan kelompok ini hamper tidak tercatat dalam sejarah. Dapat dikatakan sejarah Indonesia pada masa itu merupakan sejarahnya orang dewasa, terutama sejarahnya orang tua.
Munculnya gerakan–gerakan pemuda pada abad XX di Indonesia tidaklah sendirian karena di Negara-negara Asia lainnya juga sama-sama mengalami struktur perubahan yang sama. Perubahan itu terjadi karena masuknya ide-ide baru, system pendidikan, industrialisasi dalam batas-batas tertentu, urbanisasi, disintegrasi tatanan masyarakat lama, teknologi baru dan lain sebagainya. Perubahan yang telah memporak-porandakan tatanan lama itu ternyata belum diikuti dengan terwujudnya masyarakat baru.
Dalam masyarakat yang anomie terjadilah krisis dalam pikiran-pikiran golongan social dalam masyarakat, termasuk kelompok pemudanya. Mereka mulai berpikir dan mempertanyakan posisi diri mereka dalam asas perubahan zaman yang tidak menentu itu. Mereka mulai mencari identitas dirinya demi menatap masa depannya yang selama ini dikungkung oleh dekapan generasi tua dan tekanan penjajahan Belanda. Oleh karena itu pemuda-pemuda Indonesia merasa perlunya persatuan pemuda-pemuda Indonesia yang dituangkan dalam satu wadah sehingga didapat satu derap langkah yang sama dalam mencapai apa yang dicita-citakan oleh para pemuda pada umumnya. (Cahyo B.U, hal 113)
Rumusan Masalah
Apakah yang melatar belakangi lahirnya organisasi pemuda?
Organisasi apa sajakah yang lahir setelah berdirirnya organisasi Budi Utomo?
Bagaimanakah sepak terjang atau perjalanan dari organisasi-organisasi pemuda tersebut?
Tujuan
Untuk mengetahui dan memahami latar belakang lahirnya organisasi pemuda.
Untuk mengetahui organisasi pemuda yang lahir setelah Budi Utomo.
Untuk memahami dan mendiskripsikan perjalanan dari organisasi-organisasi pemuda tersebut.
Manfaat
Dapat mengetahui dan memahami latar belakang lahirnya organisasi pemuda.
Dapat mengetahui organisasi apa saja yang lahir setelah Budi Utomo.
Dapat memahami dan mendeskripsikan perjalanan organisasi-organisasi pemuda
BAB II
ISI
Tri Koro Dharmo
Sejak Boedi Oetomo beralih tangan dari golongan muda ke golongan tua pada kongres pertamanya pada 5 Oktober 1908, timbul rasa ketidakpuasan di kalangan generasi muda. Ketidakpuasan itu didasarkan pada gerak-langkah Boedi Oetomo yang cenderung konservatif dan kurang menampung aspirasi para pemuda. Atas dasar itu, para pemuda membentuk suatu perkumpulan sendiri yang dapat dijadikan tempat para pemuda dapat dididik untuk memenuhi kewajibannya di kelak kemudian hari. (SNI V, hal 190)
7 Maret 1915, bertempat di Gedung Boedi Oetomo Stovia Jakarta, para pemuda sepakat untuk mendirikan organisasi pemuda yang berfungsi sebagai tempat latihan bagi calon-calon pemimpin bangsa atas dasar kecintaan kepada tanah airnya. Perkumpulan para pemuda itu diberi nama Tri Koro Dharmo, yang mengandung arti tiga tujuan yang mulia. Jabatan ketua diemban oleh oleh Satiman Wirjosandjojo, wakil ketuan Soenardi (Mr.Wongsonegoro), dan sekertaris Soetomo. Pengurus lain diantaranya adalah Muslich, Musodo, dan Abdul Rachman.
Sesuai dengan namanya, Tri Koro Dharmo memiliki tujuan, yaitu: Menjalin pertalian antara murid-murid bumi putera pada sekolah menengah, kursus perguruan kejuruan dan sekolah vak, menambah pengetahuan umum bagi anggota-anggotanya, membangkitkan dan mempertajam perasaan buat segala bahasa dan kebudayaan Hindia (Indonesia). Hal ini dilakukan antara lain dengan menyelenggarakan berbagai pertemuan dan kursus, mendirikan lembaga yang memberi beasiswa, menyelenggarakan berbagai pertunjukan kesenian, serta menerbitkan majalah Tri Koro Dharmo.
Pada 12 Juni 1918, Tri Koro Dharmo yang sejak 1917 diketuai oleh Sutardiaryodirejo melakukan kongres di Solo. Kongres itu menghasilkan dua keputusan, yaitu tentang ruang lingkup keanggotaan dan nama organisasi, serta mengenai kepengurusannya. Nama Tri Koro Dharmo yang sangat jawasentris diganti dengan nama Jong Java. Dengan begitu diharapkan pemuda-pemuda Sunda, Madura, Bali, dan Lombok diharapkan bisa ikut memasuki organisasi tersebut. Tujuan pengubahan organisasi adalah untuk membangun persatuan Jawa Raya, yang dapat dicapai dengan jalan mengadakan suatu ikatan yang baik di antara murid-murid sekolah menengah, berusaha meningkatkan kepandaian anggotanya, dan menimbulkan rasa cinta terhadap budaya sendiri. Dalam kongres itu, dipilihlah Sukiman Wirjosandjojo sebagai ketua. Beliau inilah yang di kemudian hari terpilih menjadi ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda.
Sampai kongres terakhirnya pada 23 Desember 1929, Jong Java telah sepuluh kali melakukan kongres, dan menghasilkan keputusan-keputusan penting yang sangat berpengaruh terhadap perjuangan para pemuda di masa selanjutnya. Keputusan-keputusan tersebut diantaranya adalah :
Disetujuinya seorang wanita untuk duduk dalam pengurus besar dan anggota redaksi majalah Jong Java, serta usaha untuk menterjemahkan surat-surat yang ditulis oleh Kartini. Ini berarti pengakuan hak wanita disamakan dengan pria sebagai kelanjutan usaha emansipasi Kartini.
Pada kongres ketiganya, bahasa-bahasa daerah seperti Jawa, Bali, Sunda, Makasar, dan Lombok boleh dipergunakan, asalkan dengan diterjemahkan dalam bahasa Belanda.
Adanya cita-cita untuk membangun Jawa Raya dengan jalan membina persatuan diantara golongan-golongan di Jawa dan Madura untuk mencapai kemakmuran bersama. Walaupun masih sebatas Jawa dan Madura, hal tersebut menjadi bibit awal bagi terbentuknya integrasi bangsa.
Pada kongres Mei 1922 dan kongres luar biasa Desember 1922, dipertegas bahwa Jong Java tidak akan mencampuri aksi atau propaganda di bidang politik. Jong Java tetap hanya akan bergerak di masalah sosial, budaya, dan pendidikan saja. Jong Java hanya akan mengadakan hubungan antara murid-murid sekolah menengah, mempertinggi perasaan terhadap budaya sendiri, menambah pengetahuan umum anggotanya, dan menggiatkan olahraga. Raden Samsurijal, ketua Jong Java pada Kongres VI di Yogyakarta, mengusulkan agar Jong Java ikut bergerak di bidang politik dan lebih mengutamakan program memajukan Islam. Namun kedua usulan tersebut ditolak, sehingga ia mengundurkan diri dari Jong Java dan membentuk Jong Islamieten Bond.
Setelah kongres pemuda I pada tahun 1926, faham persatuan dan kebangsaan Indonesia semakin meningkat di kalangan anggota Jong Java. Pada kongres VII 27-31 Desember 1926 di Surakarta, Jong Java yang diketuai Sunardi Djaksodipuro (Mr.Wongsonegoro) membuat putusan untuk merubah tujuan dan ruang gerak organisasi tersebut. Tujuan tidak hanya membangun Jawa Raya saja, tetapi pada saatnya nanti, Jong Java juga harus bercita-cita membangun persatuan dan membangun Indonesia Merdeka. Ruang lingkup yang dirambah organisasi tersebut juga mulai memasuki dunia Politik, setelah adanya putusan bahwa anggota yang berusia lebih dari 18 tahun boleh mengikuti rapat-raapat politik, sedangkan yang di bawah 18 tahun hanya boleh mengikuti kegiatan-kegiatan dalam seni, olah raga, dan kepanduan. (Cahyo, B.U, hal 119)
Pada tahun 1928, organisasi ini siap bergabung dengan organisasi kepemudaan lainnya dan ketuanya R. Koentjoro Poerbopranoto, menegaskan kepada anggota bahwa pembubaran Jong Java, semata-mata demi tanah air. Oleh karena itu, maka terhitung sejak tanggal 27 Desember 1929, Jong Javapun bergabung dengan Indonesia Moeda

Jong Sumatranen Bond
Berdirinya Jong Java di Batavia memberikan inspirasi bagi pemuda-pemuda Sumatra yang sedang belajar di Batavia untuk mendirikan organisasi serupa. Jong Sumatranen Bond (JSB) adalah perkumpulan yang bertujuan untuk mempererat hubungan di antara murid-murid yang berasal dari Sumatra, mendidik pemuda Sumatra untuk menjadi pemimpin bangsa serta mempelajari dan mengembangkan budaya Sumatra. Untuk mecapai tujuan tersebut, usaha-usaha yang dilakukan antara lain adalah dengan menghilangkan adanya prasangka etnis di kalangan orang Sumatra, memperkuat perasaan saling membantu, serta bersama-sama mengangkat derajat penduduk Sumatra dengan jalan menggunakan propaganda, kursus, ceramah-ceramah, dan sebagainya.
Perkumpulan ini didirikan pada tanggal 9 Desember 1917 di Jakarta. JSB memiliki delapan cabang, enam di Jawa meliputi Batavia, Bogor, Bandung, Serang, Sukabumi, dan Purworejo, serta dua di Sumatra, yakni di Padang dan Bukittinggi. Beberapa tahun kemudian, para pemuda Batak keluar dari perkumpulan ini dikarenakan dominasi pemuda Minangkabau dalam kepengurusannya. Para pemuda Batak ini membentuk perkumpulan sendiri, Jong Batak.
Kelahiran JSB pada mulanya banyak diragukan orang. Salah satu diantaranya ialah redaktur surat kabar Tjaja Sumatra, Said Ali, yang mengatakan bahwa Sumatra belum matang bagi sebuah politik dan umum. Tanpa menghiraukan suara-suara miring itu, anak-anak Sumatra tetap mendirikan perkumpulan sendiri. Kaum tua di Minangkabau menentang pergerakan yang dimotori oleh kaum muda ini. Mereka menganggap gerakan modern JSB sebagai ancaman bagi adat Minang. Aktivis JSB, Bahder Djohan menyorot perbedaan persepsi antara dua generasi ini pada edisi perdana surat kabar Jong Sumatra.
Surat kabar Jong Sumatra terbit pertama kali pada bulan Januari 1918. Dengan jargon Organ van Den Jong Sumatranen Bond, surat kabar ini terbit secara berkala dan tidak tetap, kadang bulanan, kadang triwulan, bahkan pernah terbit setahun sekali. Bahasa Belanda merupakan bahasa mayoritas yang digunakan kendati ada juga artikel yang memakai bahasa Melayu. Jong Sumatra dicetak di Weltevreden, Batavia, sekaligus pula kantor redaksi dan administrasinya.
Mulanya, dewan redaksi Jong Sumatra juga merupakan pengurus (centraal hoofbestuur) JSB. Mereka itu adalah Tengkoe Mansyur (ketua), A. Munir Nasution (wakil ketua), Mohamad Anas (sekretaris I), Amir (sekretaris II), dan Marzoeki (bendahara), serta dibantu beberapa nama lain. Keredaksian Jong Sumatra dipegang oleh Amir, sedangkan administrasi ditangani Roeslie. Mereka ini rata-rata adalah siswa atau alumni STOVIA serta sekolah pendidikan Belanda lainnya. Setelah beberapa edisi, keredaksian Jong Sumatra dipisahkan dari kepengurusan JSB meski tetap ada garis koordinasi. Pemimpin redaksi pertama adalah Mohammad Amir dan pemimpin perusahaan dijabat Bahder Djohan.
Surat kabar Jong Sumatra memainkan peranan penting sebagai media yang menjembatani segala bentuk reaksi atas konflik yang terjadi. Dalam Jong Sumatra edisi 12, th 1, Desember 1918, seseorang berinisial Lematang mempertanyakan kepentingan kaum adat. Sambutan positif juga datang dari Mohamad Anas, sekretaris JSB. Anas mengatakan dengan lantang bahwa bangsa Sumatra sudah mulai bangkit dari ketidurannya, dan sudah mulai memandang keperluan umum.
Sumatra memang dikenal banyak menghasilkan jago-jago pergerakan, dan banyak di antaranya yang mengawali karier organisasinya melalui JSB, seperti Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin. Hatta adalah bendahara JSB di Padang 1916-1918. Kemudian ia menjadi pengurus JSB Batavia pada 1919 dan mulai mengurusi Jong Sumatra sejak 1920 hingga 1921. Selama di Jong Sumatra inilah Hatta banyak menuangkan segenap alam pikirannya, salah satunya lewat karangan berjudul “Hindiana” yang dimuat di Jong Sumatra no 5, th 3, 1920. Sedangkan Mohammad Yamin adalah salah satu putra Sumatra yang paling dibanggakan. Karya-karyanya yang berupa esai ataupun sajak sempat merajai Jong Sumatra. Ia memimpin JSB pada 1926-1928 dan dengan aktif mendorong pemikiran tentang perlunya bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa persatuan. Kepekaan Yamin meraba pentingnya bahasa identitas sudah mulai terlihat dalam tulisannya di Jong Sumatra no 4, th 3, 1920. Jong Sumatra berperan penting dalam memperjuangkan pemakaian bahasa nasional, dengan menjadi media yang pertama kali mempublikasikan gagasan Yamin, mengenai bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.
Semakin besarnya kesadaran nasional dan semakin luasnya penggunaan bahasa melayu di kalangan mereka, maka nama organisasi yang sebelumnya masih menggunakan bahasa Belanda, diganti dengan nama Pemuda Sumatra. Pemuda Sumatra ini memberikan andil cukup besar dalam memperkuat kesadaran berbangsa, khususnya di kalangan pemuda.

Organisasi Pemuda di daerah lain
Setelah lahirnya Tri Koro Dharmo yang kemudian menjadi Jong Java, selain Jong Sumatranen Bond, muncullah organisasi-organisasi pemuda daerah lain yang serupa. Sejumlah organisasi pemuda kedaerahan yang muncul itu pada mulanya sempat menimbulkan persepsi akan mementingkan etnis dan lokalitas sehingga dapat menimbulkan persaingan di antara mereka, namun di selanjutnya, justru perbedaan tersebut menjadi wahana utama dalam mencapai persatuan bangsa pada Sumpah Pemuda 1928. Beberapa organisasi tersebut antara lain:

·         Jong Ambon
Organisasi Ambon Muda atau Pemuda-pemuda Ambon didirikan pada tanggal 9 Mei 1920. Maksud dan tujuannya adalah menggalang persatuan dan mempererat tali persaudaraan di kalangan pemuda-pemuda yang berasal dari daerah Ambon (Maluku). Pendirinya adalah A.J. Patty, seorang pemuda dari Maluku. Ia memperssatukan organisasi-organisasi orang ambon dengan menggunakan organisasi yang telah ia dirikan sebelumnya, Serikat Ambon, di Semarang. Karena dianggap menentang kebijakan Belanda, ia ditangkap dan diasingkan ke berbagai tempat seperti Ujung Pandang, Bengkulu, Palembang, dan Flores. Ditangkapnya Patty sedikit menyebabkan kemunduran organisasi tersebut, hingga akhirnya muncul tokoh baru, Mr. Latuharhary.
·         Jong Minahasa
Organisasi pemuda yang didirikan oleh para pemuda pelajar menengah yang berasal dari kelompok etnis Minahasa pada tanggal 24 April 1919 di Jakarta. Jong Minahasa artinya “Minahasa Muda” atau “Pemuda Minahasa”. Maksud dan tujuannya adalah menggalang dan mempererat persatuan dan tali persaudaraan di kalangan pemuda – pemuda (pelajar) yang berasal dari Minahasa. Organisasi ini merupakan kelanjutan dari organisasi yang didirikan sejak tahun 1912 di Semarang, yakni Rukun Minahasa. Di antara pemimpin JongMinahasa yang paling dikenal adalah Ratulangi. Berdirinya organisasi ini bermula dari kebutuhan praktis yang selalu menekan kehidupan para pemuda pelajar di perantauan. Kehidupan terpisah dari sanak keluarga dan hubungan dengan lingkungan asing dan orang-orang yang berasal dan latar belakang budaya berbeda-beda menyebabkan mereka mencari keserasian hubungan dengan ternan yang berasal dari daerah yang sarna. Dengan kata lain, organisasi pemuda ini bermula dari rasa solidaritas yang primordial itu.
Namun, sejalan dengan semakin meningkatnya rasa kesadaran nasional di antara kaum pergerakan, organisasi ini pun tidak luput dari pengaruh politik. Hal ini tampak pada keikutsertaan Jong Minahasa dalam pertemuan pemuda pada tanggal 15 November 1925 di gedung Lux Orientis di Jakarta. Pertemuan ini dihadiri oleh wakil-wakil Jong Java, JSB, Jong Ambon, Jong Minahasa, Sekar Rukun dan beberapa wakil dari organisasi pemuda lainnya. Dalam pertemuan ini dibicarakan kemungkinan untuk mengadakan pertemuan pemuda yang luas dan mencakup berbagai organisasi. Mereka bersepakat membentuk sebuah panitia untuk mempersiapkan “Kerapatan Besar Pemuda”, yang kelak berkembang menjadi Kongres Pemuda pertama pada tanggal 30 April 1926 di Jakarta. Organisasi Jong Minahasa ini tidak berkembang seperti organisasi pemuda lain, karena sedikitnya pemuda pelajar yang berasal dari Sulawesi. Tokohnya yang terkenal antara lain G.R. Pantouw.

·         Jong Celebes (Sulawesi)
Artinya Celebes Muda atau Pemuda Celebes, yaitu organisasi pemuda-pemuda yang berasal dari seluruh pulau Celebes (Sulawesi), sehingga jangkauannya lebih luas dari Jong Minahasa. Didirikan pada tahun 1912. Maksud dan tujuannya adalah mempererat rasa persatuan dan tali persaudaraan di kalangan pemuda-pemuda (pelajar) yang berasal dari Pulau Celebes atau Sulawesi. Tokoh-tokohnya yang terkenal antara lain Arnold Mononutu, Waroruntu dan Magdalena Mokoginta atau dikenal dengan Ibu Sukanto (Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang pertama).

·         Jong Batak
Berdiri pada tahun 1926. Dikenal juga dengan nama Jong Bataks Bond, adalah perkumpulan para pemuda yang berasal dari daerah Batak (Tapanuli), yang bertujuan untuk memperat persatuan dan persaudaraan di antara para pemuda yang berasal dari daerah tadi serta turut serta memajukan kebudayaan daerah. Salah satu tokoh yang terkenan dari organisasi ini adalah Amir Sjarifudin.
Selain organisasi pemuda daerah diatas, ada pula organisasi pemuda daerah lain seperti Pemuda Betawi, Sekar Rukun, dan Pemuda Timor.
·         Jong Islamieten Bond
Selain organisasi-organisasi pemuda yang berdasarkan ikatan kultural, territorial, dan etnisitas, pada awal abad XX muncul pula organisasi pemuda yang berdasarkan keagamaan. Organisasi itu adalah Jong Islamieten Bond. Berdirinya organisasi ini masih ada hubungannya dengan Jong Java. Raden Sam yang berposisi sebagai ketua, mengundurkan diri setelah pada kongres ke VI Jong Java, dua usul darinya ditolak. Ia kemudian mendirikan perkumpulan Jong Islamieten Bond ini pada 1 Januari 1925. Tujuan pertama pembentukannya adalah untuk mengadakan kursus-kursus agama Islam bagi para pelajar Islam dan untuk mengikat rasa persaudaraan antara para pemuda terpelajar Islam yang berasal dari berbagai daerah di Nusantara dan sebelumnya masih menjadi anggota perkumpulan daerah, seperti Jong Java (7 Maret 1915), Jong Sumatra (9 Desember 1917), dan lain-lain. Anggotanya terbuka antara usia 14-30 tahun, sehingga tidak hanya diisi oleh para pelajar saja. Secara formal, organisasi ini tidak bergerak di bidang politik, namun bagi anggota yang berusia lebih dari 18 tahun, boleh mengikuti kegiatan politik. (Cahyo B.U, hal 124)
Kongres pertama organisasi ini dilangsungkan pada 29 Desember 1925.. dari kongres itu, ditetapkan anggaran dasar organisassi dan terumuskannya sebuah tujuan, yaitu :
Mempelajari dan mendorong hidupnya kembali agama Islam
Memupuk dan menaikkan simpati terhadap para pemeluk agama Islam dan pengikut-pengikutnya di samping toleransi terhadap golongan lain
Mengorganisasi kursus-kursus Islam, darmawisata, olahraga, dan menggunakan agama senagai pemersatu
Meningkatkan kemajuan jasmani dan rohani anggota-anggotanya dengan menahan diri dan sabar
Kongres kedua diadakan di Surakarta pada 24-26 Desember 1926 mendorong para anggotanya untuk lebih ddalam mempelajari Islam sesuai dengan asas dan tujuan organisasi. Kongres ketiga berlangsung di Yogyakarta pada 23-27 Desember 1927. Lebih banyak membicarakan masalah-masalah yang dihadapi umat Islam, terutama yang ada kaitannya dengan cita-cita persatuan dan nasionalisme.

Organisasi Kepanduan
Kepanduan yang sekarang ini lebih dikenal dengan nama Pramuka sebernanya telah ada sejak awal abad XX dengan nama Nederlanche Padvinders Organisatie (NPO). Didirikan oleh John Smith, seorang Belanda, atas usulan dari kepanduan Belanda, sehingga bersifat Nederlandosentris.
NPO kemudian berubah nama menjadi Nederlands Indische Padvinders Vereeneging. Setelah perubahan itu, barulah orang-orang bumi putera bisa masuk mengikuti kegiatannya. Pada 1916, organisasi kepanduan bumi putera pertama berdiri dengan nama Javaanse Padvinders Organisatie (JPO) di Mangkunegaran Surakarta, yang tak bisa dilepaskan dari peran Mangkunegoro VII, seorang bangsawan Jawa yang aktif di Boedi Oetomo saat masih muda.
Organisasi Kepanduan yang muncul di masa itu digunakan para pemuda untuk meningkatkan budi luhur, ketrampilan dan kepribadian, serta memupuk bakat kepemimpinan. Hal itu semua berguna untuk meningkatkan rasa kebangsaan para pemuda. Sejalan dengan itu, organisasi-organisasi kebangsaan mendirikan organisasi kepanduan sendiri-sendiri yang berada di bawah naungannya. Boedi Oetomo mendirikan Nationale Padvinderij pada 1924 di bawah pimpinan Daslan Adiwarsito. Serikat Islam mendirikan Wina Tamtama pimpinan A. Zarkasih. Pada 1923 berdiri Nationale Padvinders Organisatie (NPO) di bawah pimpinan Usman, sedangkan di Jakarta berdiri Jong Indonessche Padvinders Organisatie (JIPO). Di Yogyakarta, Muhammadiyah juga mendirikan Hizbul Watban pada tahun 1923 di bawah pimpinan Djumairi. Organisasi pemudapun ikut mendirikan kepanduan. Jong Java mendirikan Jong Java Padvinders, Jong Islamieten Bond mendirikan Nationale Islamistiche Padvinders. Selain itu juga ada Pandu Pemuda Sumatera yang didirikan Pemuda Sumatera.
Semakin maraknya organisasi kepanduan bumi putera yang muncul, ternyata semakin menyuburkan faham kebangsaan di tanah air. Hal ini diantisipasi oleh pemerintah kolonial. Usaha-usaha dilakukan untuk memecah organisasi-organisasi kepanduan yang ada, atau setidaknya mengurangi kegiatan-kegiatan kepanduan bumi putera yang berbau menyebarkan faham kebangsaan. Salah satunya adalah larangan menggunakan nama Padvinders atau Padvinderij sebagai nama kepanduan. Atas aturan tersebut, maka sejak tahun 1928, nama Belanda itu diganti dengan nama Pandu atau Kepanduan, hal ini berlaku untuk semua organisasi kepanduan yang ada.
Dengan demikian, keberadaan organisasi kepanduan ini kemudian dimanfaatkan oleh organisasi-organisasi kebangsaan untuk menyebarkan dan memperkuat kesadaran nasional di lingkungan para pemuda Indonesia. Walaupun organisasi-organisasi kepanduan itu memiliki asas yang berbeda, namun ada satu kesamaan yang mendasar, yaitu nasionalisme Indonesia.

Organisasi pemuda yang lahir menjelang Sumpah Pemuda
Di awal abad XX, organisasi pemuda yang muncul lebih bersifat primordial, namun dalam perkembangannya organisasi pemuda telah mengarah pada sifat kebangsaan, dan telah menunjukkan tanda-tanda untuk menuju pada integrasi bangsa.
Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia
Bersamaan dengan perkembangan Perhimpunan Indonesia di Belanda, di dalam negeri pun semakin berkembang pendidikan tinggi, sehingga terjadilah perkembangan baru dalam sejarah pergerakan nasional di tanah air. Keduanya saling mempengaruhi. Semakin banyaknya kaum terpelajar di Indonesia, timbul gagasan untuk ikut berperan aktif dalam perjuangan kemerdekaan. Mereka kemudian membentuk organisasi yang diberi nama Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) pada 1926 yang beranggotakan mahasiswa dan pelajar sekolah tinggi. Ide pendirian PPPI ini digagas oleg Djaksodipuro.
Organisasi ini bertujuan untuk menyatukan organisai-organisasi pemuda yang telah ada, yang umumnya memiliki latar belakang budaya, lokalitas, dan etnisitas yang berbeda. Adapun tokoh PPPI itu adalah Sogondo Djojopuspito, Sigid Abdul Sjukur, Gularso, Sumitro, Samidjono, Hendromartono, Subari, Rohdjani, Amir Sjarifuddin, dll. Sugondo Djojopuspito adalah ketua Kongres Pemuda II.
PPPI tidak hanya bergerak di dalam negeri saja. Mereka juga menjalin hubungan dengan Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda. PI sewaktu-waktu mengirimkan majalah Indonesia Merdeka ke Indonesia, seementara PPPI mengirimkan majalah Indonesia Raya ke negeri Belanda. Namun terkadang hal tersebut mendapat halangan dari Pemerintah Belanda maupun pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Sikap PPPI dengan mempersatukan organisasi-organisasi kedaerahan yang telah ada merupakan bukti kecintaan terhadap persatuan bangsa. Hal ini berarti para pemuda telah memasuki babak baru dalam pergerakan nasional, yakni telah berani bergerak dalam dunia politik demi masa depan bangsanya, dengan tidak lupa mendorong para anggotanya untuk terus rajin belajar.
Pemuda Indonesia
Berdiri pada tanggal 27 Februari 1927 di Bandung sebagai tindak lanjut dari Algemeene Studie Club yang dipimpin Soekarno. Pemuda Indonesia ini beranggotakan para pemuda yang berumur 15 tahun ke atas, yang sebagian besar berasal dari pelajar-pelajar AMS dan mahasiswa RHS dan STOVIA. \
Tujuan Pemuda Indonesia adalah guna memperluas dan memperkuat ide kesatuan nasional Indonesia. Untuk merealisasikan tujuan tersebut, Pemuda Indonesia mendirikan organisasi kepanduan, mengadakan kerjasama dengan organisasi pemuda lain, menyelenggarakan rapat-rapat, dan sebagainya. Untuk melakukan segala kegiatannya, Pemuda Indonesia menggunakan bahasa Melayu (Bahasa Indonesia). 28 Desember 1927, Kongres pertama dilangsungkan di Bandung. Beberapa keputusan penting yang dihasilkan adalah:
Penggantian nama Jong Indonesia menjadi Pemuda Indonesia
Bahasa pengantar resmi adalah bahasaMelayu
Gagasan fusi atas organisasi-organisasi pemuda sebagaimana yang dikemukakan Perhimpunan Indonesia disetujui asal semua organisasi menyetujui, dan apabila ada organisasi yang tidak menghendaki fusi, maka Pemuda Indonesia akan menetapkan Pendiriannya kemudian.
Sebelum kongres, ketua dijabat oleh Sujawi. Setelah kongres, kepengurusan berubah, ketua Yusupadi, sekertaris I Muhammada Tamzil, Sekertaris II Subagia Reksodipuro, bendahara Asaat, dan dibantu oleh pengurus lain seperti Roesmali dan Syahrir.

Daftar Pustaka
Cahyo, B.U. 1995. Dinamika Pergerakan Indonesia dari Kebangkitan hingga Kemerdekaan Semarang:IKIP Press.
Poesponegoro, Marwati Djonet dan Nugroho Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta:Balai Pustaka.